5 Prinsip Hidup Kunci Sukses Soeharto |
Presiden Soeharto hidup dengan memegang falsafah Jawa. Dia selalu merenungi nasihat-nasihat yang kemudian dijadikannya prinsip hidup. Diresapinya kalimat-kalimat yang mengandung arti kebajikan dan pesan itu.
Dari ayah tirinya Atmopawiro, Soeharto mempelajari faith based. Soeharto selalu puasa Senin Kamis dan tidur di tritisan atau di bawah ujung atap di luar rumah.
"Pada masa itu saya ditempa mengenal dan menyerap budi pekerti dan filsafah hidup yang berlaku di lingkungan saya. Mengenal agama dan tata cara hidup Jawa, " kata Soeharto dalam biografi 'Soeharto, Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya' yang ditulis Gary Dwipayana dan Ramadhan KH.
Dari pamannya seorang mantri pertanian bernama Prawirodiharjo, Soeharto mempelajari hidup sebagai petani yang harus selaras dengan alam. Prinsip-prinsip hidup semasa kecil terus diamalkan Soeharto hingga dia menjadi pejabat.
Akhirnya, Soeharto yang anak seorang petugas irigasi, bisa menjadi presiden kedua Republik Indonesia. Selama 33 tahun, Soeharto memimpin Indonesia dengan master dan kontra.
Apa saja prinsip hidup Soeharto yang menjadikannya sukses?
1. Aja kagetan, aja gumunan lan aja dumeh
Pada masa kecil di bawah bimbingan ayah tirinya Atmopawiro, Soeharto mulai mengenal falsafah Jawa. Saat itu pula Soeharto mengenal ajaran tiga 'aja'. Aja kagetan, aja gumunan, aja dumeh.
Artinya kira-kira jangan kagetan, jangan heran dan jangan mentang-mentang. Hal ini diresapi betul oleh Soeharto.
"Ini kelak jadi penegak diri saya dalam menghadapi soal-soal yang bisa mengguncangkan diri saya, " kata Soeharto.
Inti ajaran ini bermaksud untuk menanamkan sikap sabar, tenang, dan tidak sombong. Bila orang ingin berhasil dalam kehidupan bermasyarakat, keyakinan pada diri sendiri harus dipupuk dan dibina. Jangan sombong saat sedang diamanahi jabatan tertentu.
2. Hormat kalawan gusti, guru, ratu lan wong atuwa karo
Prinsip hidup 'Hormat kalawan gusti, guru, ratu lan wong atuwa karo' selalu dipegang Soeharto sepanjang hidupnya. Artinya hormat pada tuhan, guru, pemerintah dan kedua orang tua.?
Ratu di sini dipakai sebagai lambang pemerintahan dan negara. Hal ini mengandung pengertian bahwa manusia di negaranya tidak mengabdi pada perorangan, melainkan pada nusa dan bangsa.
Sedangkan wong atuwa karo artinya tidak hanya kedua orangtua kandung. Pada mertua dan saudara tua pun harus berbakti.
"Sampai jadi presiden saya merasa tidak berubah dalam hal ini. Saya junjung tinggi ajaran ini dan saya percaya akan kebenarannya, " kata Soeharto.
3. Sa-Sa-Sa
Sa-sa-sa atau 'tiga sa' ini juga merupakan salah satu falsafah hidup Soeharto. Sabar Atine, Saleh Pikolahe, Sareh Tumindake. Artinya kira-kira selalu sabar, selalu saleh dan taat beragama, dan selalu bersikap bijaksana.
Soeharto belajar agama sejak kecil. Ketika tinggal di Wiryantoro bersama pamannya yang bernama Prawirodiharjo, Soeharto belajar mengaji di langgar (musala kecil) dekat rumah. Suasana rumah pamannya yang religius juga menjadi bekal kehidupan rohani Soeharto.
Soeharto juga dekat dengan ilmu kebatinan. Tapi menurutnya ilmu kebatinan berbeda dengan klenik. Ilmu kebatinan adalah untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.?
"Sesuai dengan peninggalan nenek moyang kita. Ilmu kebatinan itu adalah untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Mendekatkan batin kita kepada-Nya. Orang kadang-kadang salah kaprah, mengira ilmu kebatinan itu ilmu klenik, " kata Soeharto.
4. Mikul dhuwur mendhem jero
Mikul dhuwur mendhem jero artinya menjunjung tinggi-tinggi, membenam dalam-dalam. Peribahasa ini mengajarkan cara anak berbakti pada orang tuanya. Seorang anak harus menjaga benar-benar nama baik orang tua, serta jasa-jasanya pada negara. Harus dijaga dan jangan sampai menodainya.
Sebaliknya jika ada kesalahan orangtua, anak tak perlu mengungkit-ungkitnya. Lebih elok jika dimaafkan. Anak juga harus memperlakukan orang tua dengan baik semasa hidup dan ketika sudah meninggal.
Soeharto pun mengajarkan prinsip Mikul dhuwur mendhem jero ini pada enam anaknya.
5. Sugih tanpa bandha
Pepatah ini lengkapnya berbunyi Sugih tanpa bandha, nglurug tanpa bala, digdaya tanpa aji dan menang tanpa ngasorake. Artinya kaya tanpa kekayaan, menyerbu tanpa bala tentara, kuat perkasa tapi ajian, menang tanpa ada yang merasa dikalahkan.
Sugih tanpa bandha juga berarti segala perbuatan manusia didasarkan atas keikhlasan batin tanpa pamrih. Nglurug tanpa bala bisa diartikan merasa diri berharga bukan karena ditakuti, disegani melainkan karena kemampuan untuk setia pada apa yang kita yakini.
Digdaya tanpa aji, menang tanpa ngasorake berarti seseorang menjadi perkasa, menjadi pemenang, menjadi raja bukan karena punya kesaktian atau kekuatan tempur luar biasa. Tetapi memiliki kemampuan untuk memelihara ketentraman dan kedamaian hidup.
0 komentar:
Posting Komentar